JURNAL GAYA – Siapa yang tak kenal dengan Ustadz Adi Hidayat. Salahsatu ulama yang dikenal hapal al qur’an hingga ke halaman bahkan tata letak ayatnya beliau hapal. Rupanya kejeniusan seorang Ustadz Adi Hidayat sudah terlihat sejak kecil ketika menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, pesantren kader ulama tarjih Muhammadiyah.
Fahd Pahdepie yang kini menjadi juru bicaranya mengungkapkan masa kecil Ustadz yang akrab disapa UAH ini melaui medsosnya @fahdpahdepie. “Mengapa saya membela Ustadz Adi Hidayat (UAH) dan berdiri di garis paling depan? Izinkan saya sedikit bercerita,” bukanya dalam postingan yang diunggah, Selasa 2 Juni 2021 itu.
Fahd sendiri ditahun 1999 diceritakan baru masuk menjadi santri di Ponpes Darul Arqam sekaligus adik kelas UAH. Pimpinan Ponpes saat itu, Kiai Miskun seolah ingin menunjukkan kader terbaiknya, untuk mempersilakan Adi Hidayat kecil berpidato.
“Dengan penuh percaya diri A Adi, begitu kelak saya memanggilnya, naik ke atas mimbar. Perawakannya kecil, tetapi suaranya menggelegar. Ia berdalil dengan quran, hadits, mengutip banyak referensi ilmiah, berpidato dengan retorika yang memukau. Kadang dengan bahasa Inggris di satu bagian, Bahasa Arab di bagian yang lain. Keduanya fasih,” kenang Fahd.
Seluruh hadirin saat itu terpukau, berdecak kagum. “Saya melongo, ibu saya meneteskan air mata. "Nanti kamu harus begitu, ya, belajarlah sama A Adi. Dekati, berguru." Pesannya. Saya mengangguk. Usia saya masih 12 tahun, terpaut dua tahun saja dari A Adi. Memori itu tercetak kuat dalam ingatan saya, apalagi pesan ibu,” bebernya.
Hari demi hari berlalu. Sebagai santri dirinya berusaha mengenal dan dekat dengan UAH. Kadang seusai shalat berjamaah, mereka duduk berdua, berhadap-hadapan, bertanya tentang apa saja. “A Adi sering memberi saya nasihat, motivasi, kadang memberi saya tantangan-tantangan juga. Pada saatnya kami cukup dekat. Sejak dulu banyak yang segan untuk bisa dekat dan ngobrol dengan A Adi, saya mungkin salah satu dari yang sedikit bisa mendapat kemewahan berdiskusi panjang dengannya,” ungkapnya.
Pada saatnya, keduanya tumbuh seolah ke arah yang berbeda. “A Adi kuliah agama, saya kuliah politik. A Adi ke Libya, saya ke Australia. A Adi hadir di konferensi-konferensi Internasional di Timur Tengah, saya di Eropa dan negeri Barat lainnya. A Adi menjadi orator ulung, saya memilih menjadi penulis. A Adi menjadi ulama, saya menjadi pengusaha,” paparnya.