Kopi Wanoja, Merajut Asa lewat Biji Kopi Terbaik di Ketinggian Gunung Kamojang

13 November 2021, 17:39 WIB
Nenek Eti merintis Kopi Wanoja dari 2012, Merajut Asa lewat Biji Kopi Terbaik di Ketinggian Gunung Kamojang /Dini Yustiani/

JURNAL GAYA - Sore itu sehabis hujan, Nenek Eti (68) tampak sibuk menyambut para tetamu yang singgah di Pabrik Pengolahan Kopi Wanoja, Kampung Sangkan, Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.

Dibantu sang anak, Nenek Eti membangun romantisme lewat secangkir kopi yang diseduhnya secara manual brew. Aroma kopi sehabis disesap pun semerbak di minibar Kopi Wanoja yang bersebelahan dengan tumpukan karung dimana biji kopi terbaik siap dipinang para pembeli.

Ada secangkir kopi yang wanginya menggoda, kala Nenek Eti menguntai kisah dan perjalanannya membangun Kelompok Tani Wanoja di tahun 2012 hingga saat ini.

Baginya, kesuksesan yang dirasakan petani saat ini merupakan buah dari kerja keras yang disebutnya sebagai “Sengsara Membawa Nikmat”.

Nenek Eti pun mengembalikan ingatannya pada cerita sembilan tahun silam. Dulu, ia hanya seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sangat awam dengan dunia pertanian.

Namun jiwanya bergolak dan merasa terpanggil untuk terjun di ranah pertanian kopi. Nenek tiga orang cucu ini dihinggapi rasa prihatin saat melihat tetangga dan para petani kopi di Kamojang yang masih jauh dari kata sejahtera.

Padahal menurutnya, di kawasan Kamojang banyak lahan kopi yang berbiji subur namun para petani kerap membiarkannya membusuk di pohon. Mereka beralasan, hasil panennya tak laku di pasaran, bahkan harga jual sangat rendah.

Kopi Wanoja, Merajut Asa lewat Biji Kopi Terbaik di Ketinggian Gunung Kamojang

“Waktu tahun 2012 Nenek Eti merasa terpanggil untuk berjibaku menolong para petani bangkit dan mulai mendirikan kelompok tani kopi. Saat itu mereka girang karena hasil panennya ada yang menampung meski proses perjalanan Kopi Wanoja pun sangat tidak mudah, dimulai dari merangkak hingga akhirnya bisa berdiri tegak seperti sekarang,” ujar Eti Sumiati yang akrap disapa Nenek Eti kepada JurnalGaya.

Nenek Eti lebih jauh mengisahkan, ia mendirikan Kelompok Tani Kopi Wanoja bersama enam orang petani yang semuanya perempuan. Tepatnya bulan Juni 2013 para “Srikandi” asli Ibun itu menanam bibit kopi pertama di lereng hutan Kamojang.
Ia bertekad, petani perempuan di Kamojang harus naik kelas, berdaya dan memiliki kemandirian ekonomi. Tak heran, jika kelompok tani tersebut dinamakan“Wanoja” yang dalam bahasa Indonesia artinya gadis.

Ia pun berfilosofi, nama Wanoja diambil dari bahasa sunda yang memiliki makna gadis muda belia. Impiannya, meski usia para petani tak lagi muda, namun semangat dan daya juangnya tak pernah pudar termakan usia.

“Nenek Eti sejak tahun 2001 berstatus ibu tunggal karena suami meninggal saat anak bungsu masih SMP. Jadi muncul tekad, para petani kopi perempuan di Kamojang juga harus bangkit dan maju bersama. Usia boleh tua tapi semangat dan jiwa harus tetap muda seperti seorang wanoja,” tegasnya.

Bermula dari enam petani perempuan, Nenek Eti tak lelah merajut asa membesarkan Kopi Wanoja. Berkat kerja keras mereka, kini Kelompok Tani Wanoja pun mulai dikenal luas hingga saat ini ada 55 orang petani kopi yang tergabung secara konsisten.

Kini, Kelompok Tani Wanoja sudah mempekerjakan 25 orang karyawan yang setiap hari bekerja di pabrik pengolahan dan kebun kopi yang luasnya mencapai 87 hektar dengan kapasitas produksi 120 ton per tahun di 2020 dan 80 ton di 2021.

Dalam setiap panen, Kopi Wanoja bisa menghasilkan jenis Arabika dengan beragam varitas seperti Kartika, Sigararutang, Lini S dengan klasifikasi single origin.

“Hal yang tersulit membina kelompok tani ya berkaitan dengan komitmen. Ada beberapa petani yang sudah diedukasi soal petik biji merah, tapi tiba-tiba penantian kami kandas karena ke kebun banyak tengkulak datang dan memborong biji kopi dalam kondisi hijau dan belum layak panen,” beber Nenek Eti.

Jadi Juara 2 Specialty Coffee

Pensiunan BKKBN Kabupaten Bandung ini lebih lanjut bercerita, seiring berjalannya waktu pamor kopi Indonesia mulai menggeliat. Green bean alias biji kopi asal Kopi Wanoja pun mulai dilirik pasar.

Puncaknya saat Kopi Wanoja menyabet juara 2 dalam Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) Tahun 2015 dengan skor total 86,16. Setelah menjadi jawara, popularitas Kopi Wanoja pun kian menanjak hingga Nenek Eti kebanjiran pesanan dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan puncaknya, Kopi Wanoja sempat mencapai angka penjualan Rp100 juta per hari dengan rata-rata omset per bulan mencapai Rp400 juta. Bahkan, Kopi Wanoja pun mulai berkelana di be beberapa negara di Eropa hingga Timur Tengah.

“Saat ini Kopi Wanoja sudah diserap oleh sebuah brand kafe besar di Indonesia, bahkan setiap bulannya mereka membeli 20 persen dari hasil produksi kami. Lewat tangan mereka juga biji kopi kami diekspor ke beberapa negara,” terangnya.

Sejalan dengan usaha yang semakin melesat, berbagai penghargaan hingga pembinaan pun diterima Kopi Wanoja. Di tahun 2018, Nenek Eti dianugerahi Sabilulungan Award dari Pemerintahan Kabupaten Bandung dan pada 2019 menjadi Pekebun terbaik dari Kementerian Pertanian RI.

Karena tuntutuan zaman yang serba digital, Kopi Wanoja pun merambah penjualan secara online melalui marketplace Tokopedia dan Shopee. Setiap harinya, Nenek Eti memantau langsung jumlah penjualan yang setiap harinya semakin meningkat.

“Apalagi sejak pandemi, penjualan secara online sangat membantu usaha Kopi Wanoja. Siklus penjualan bisa mencapai belasan hingga ratusan kilogram setiap harinya. Ini yang membuat kami bisa mempertahankan pegawai untuk tetap bekerja dan digaji secara normal,” ungkapnya.

Mendapatkan Bantuan dari Bank Indonesia

enek Eti mengungkapkan, meski pamor Kopi Wanoja semakin moncer, dulu hanya ada seorang pekerja yang bertugas di lokasi pengolahan di Kampung Sangkan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.

Namun Nenek Eti tetap memegang komitmen, hasil panen yang diserahkan para petani akan tetap dibeli dengan harga yang pantas meski saat akses pasar masih sangat minim.

“Nenek tetap menghargai hasil tanam mereka dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran. Ini menjadi motivasi agar para petani bisa mempertahankan kualitas cherry atau biji kopi yang dipetik itu sudah matang, warnanya merah,” ungkapnya.

Dengan komitmen menjaga kualitas dan juga keseimbangan antara aset dan omset, Kopi Wanoja pun mulai mendapatkan bantuan dari Bank Indonesia dalam bentuk peralatan dan juga edukasi.

Melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI), Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat menyalurkan bantuan melalui aktivitas pemberdayaan masyarakat dan kepedulian sosial. Salah satu program utama pengembangan UMKM yang diakukan Bank Indonesia adalah on boarding UMKM yang dilakukan secara terintegrasi (end to end).

“Alhamdulillah Kopi Wanoja mendapatkan meja dan lemari display yang sudah memenuhi standar SNI, termasuk di pengolahan dan produksi,” kata Nenek Eti.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat Herawanto mengatakan, bakti dan sinergi berkelanjutan antara BI, pemerintah provinsi, Dekranasda, OJK dan perbankan Jawa Barat, dalam upaya mendukung UMKM Jawa Barat ini merupakan bentuk kolaborasi nyata untuk mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dengan mendukung produk UMKM.

"Dengan program ini, pola pembinaan keada UMKM dari hulu ke hilir disesuaikan dengan karakteristik dan tahapan usaha pada aspek kelembagaan dan SDM, keuangan, produksi, serta pemasaran," ujar Herawanto.

Menurutnya, sektor UMKM merupakan ujung tombak sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, termasuk Jawa Barat. Sektor ini mampu menyediakan lebih dari 90 persen lapangan kerja dan memberikan sumbangan sekitar 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“UMKM juga, menyumbang sekitar 14 persen terhadap ekspor dan lebih dari 50 persen terhadap investasi. Dengan besarnya kontribusi tersebut, UMKM merupakan motor penggerak pemulihan ekonomi nasional yang terdampak akibat pandemi Covid-19,” pungkasnya.***

 

Editor: Dini Yustiani

Tags

Terkini

Terpopuler