Secara sederhana, takbir adalah mengagungkan Allah serta meyakini bahwa tiada sesuatupun yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah.
Dengan demikian, di bawah keagungan Allah, menjadi kecil setiap sesuatu yang besar (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Azdkar, 1/285).
Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Hadis Qudsi,
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
“Kebesaran adalah selendangku, sedang keagungan adalah sarungku. Barangsiapa merampas salah satunya dari-Ku maka pasti Ku-campakkan dia ke dalam neraka” (Sunan Abi Daud, 4/59).
Menjelaskan Hadis Qudsi yang dibacakan tadi, al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan mengatakan,
أن الكبرياء والعظمة صفتان لله سبحانه اختص بهما لا يشركه أحد فيهما ولا ينبغي لمخلوق أن يتعاطاهما، لأن صفة المخلوق التواضع والتذلل
“Bahwa kebesaran dan keagungan adalah adalah dua sifat eksklusif milik Allah yang tidak dimiliki oleh selain Allah. juga tidak layak bagi makhluk merampas dua sifat ini lantaran sifat makhluk adalah tawadlu dan merendah.” (Ma’alim al-Sunan, 4/196)
Sejatinya Idul Fitri yang identik dengan takbir mengajarkan hal penting. Yaitu bahwa semuanya, bahkan sesuatu yang dianggap besar sekali pun tidak mungkin menandingi Kebesaran Allah.