Tan Malaka Trending, Ini Sepak Terjang Pahlawan Indonesia yang Hidupnya dari Penjara ke Penjara

11 Oktober 2020, 07:45 WIB
Tan Malaka yang dijadikan pengganti Soekarno /

JURNALGAYA - Nama Tan Malaka hari ini trending Twitter. Sebabnya, karena polisi menjadikan buku Tan Malaka sebagai barang bukti penangkapan pendemo UU Cipta Kerja.

Lalu siapa itu Tan Malaka?

Tan Malaka yang bernama lengkap Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897.

Ia merupakan seorang pejuang kemerdekaan, pendiri Partai Murba, dan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia dikenal sebagai tokoh kiri yang hidupnya berliku dan penuh perjuangan. Salah satu buku terkenal yang menggambarkan siapa Tan Malaka adalah Dari Penjara ke Penjara.

Baca Juga: Anies Baswedan Sebut Kepastian Perpanjangan PSBB Jakarta Diumumkan Hari Ini

Baca Juga: PSBB DKI Jakarta Berakhir: Car Free Day Belum Digelar, Adakah Layanan SIM Keliling Hari Ini? 

Masa Kecil

Saat kecil, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock.

Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.

Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta.

Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.

Baca Juga: Makna Lagu Genjer-genjer dalam Film G30S PKI: Kritik Sosial dan Sindiran pada Penguasa

Pendidikan di Belanda

Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya.

Dikutip dari Wikipedia, sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915, ia menderita pleuritis.

Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.

Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme.

Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya.

Baca Juga: 7 Profil Pahlawan Revolusi yang Dibunuh dengan Keji dalam G30S PKI

Baca Juga: PECAH, Konser Online BTS Map Of The Soul ON:E Dahsyat dan Bikin Ambyar

Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman.

Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia).

Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru).

Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Baca Juga: Viral Coretan TOLONG SAYA SEGERA di Mata Najwa, Najwa Shihab: Terima Kasih Untuk Perhatiannya

Mengajar

Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara.

Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu pada Januari 1920.

Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Ia juga mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatra.

Ia kemudian menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah Tanah Orang Miskin, yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.

Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatra Post.

Baca Juga: Lirik dan Terjemahan Lagu Inner Child V BTS, Trending Twitter Pasca Konser Online BTS

Selanjutnya, Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri. Namun mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas.

Ia lalu membuka sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah. Sekolah itu disebut Sekolah Rakyat.

Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim. Dalam otobiografinya, Tan menganggap bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui.

Tapi, Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga terpecah.

Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah. Alasannya tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Lokasi makam Tan Malaka yang jarang diketahui masyarakat

Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas oleh Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya.

Setelah dieksekusi ia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. Kematiannya tanpa dibuat laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut.

Karya Penting

Semasa hidupnya, Tan Malaka memiliki cukup banyak karya penting. Seperti Madilog yang merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia.

Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Baca Juga: 5 Fakta Film Pengkhianatan G30S PKI, Produksi Termahal Libatkan 10.000 Figuran

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dilatarbelakangi kondisi Indonesia pada masa itu. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara, serta kebudayaan dan sejarah yang diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalah itu.

Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoretis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.

Pahlawan

Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri. Ia juga terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan Perjuangan dan disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang pada waktu itu merupakan perdana menteri.

Karena itu ia dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.

Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.

Di sisi lain, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Baca Juga: Yuri Eks JKT 48 Tak Disukai Peserta Masterchef Indonesia Season 7?

Setelah pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI/FDR yang saat itu ada di Kediri, dari situ ia membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi.

Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri, Jawa Timur dan mereka ditembak mati di sana.

Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan pengikutnya.

Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa yang menangkap dan menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI di bawah pimpinan Letnan II Soekotjo (pernah jadi Wali Kota Surabaya).

Baca Juga: PDIP Desak Anies Baswedan Tak Lanjutkan PSBB DKI Jakarta Seraya Ungkap Berbagai Alasan

Batalyon tersebut di bawah komando Brigade S yang panglimanya adalah Letkol Soerachmad. dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.

Pada 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari Kediri ke Sumatra Barat. Hal ini diupayakan oleh keluarga besar Tan Malaka dan kelompok yang tergabung dalam Tan Malaka Institute.

Karena gagal membawa jenazah Tan Malaka secara utuh, mereka memutuskan untuk memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa tanah dari pekuburan Tan Malaka.***

Editor: Firmansyah

Sumber: Wikipedia

Tags

Terkini

Terpopuler