Mengacu pada monitoring terhadap perkembangan terbaru dari data suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, menunjukkan bahwa saat ini nilai anomali telah melewati ambang batas La Nina, yaitu sebesar -0.61 pada Dasarian I Oktober 2021.
"Kondisi ini berpotensi untuk terus berkembang menjadi La Nina yang diprakirakan akan berlangsung dengan intensitas lemah - sedang, setidaknya hingga Februari 2022," beber Dwikorita.
Dwikorita mengemukakan, statistik kebencanaan saat ini didominasi oleh peristiwa-peristiwa bencana yang terkait dengan cuaca/iklim.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2019 hingga 2020, kejadian bencana angin ribut/puting beliung, banjir, longsor dan kekeringan mencapai 79% dan 83% dari total bencana yang tercatat.
Hal tersebut menegaskan bahwa kesiapsiagaan mutlak diperlukan atas jenis bencana ini karena frekuensi kejadiannya yang sangat dominan.
"Bencana alam memang tidak bisa kita cegah, namun risiko kerugiannya dapat kita kurangi melalui upaya yang massif, koordinasi yang efektif dan sinergi yang baik antar kementerian atau lembaga," katanya.
Disebutkan Dwikorita, peringatan dini yang dikeluarkan bukan untuk menakut-nakuti, namun jeda waktu agar semua pihak bersiap segala sesuatunya.
"La Nina tahun ini tidak sama persis dengan kejadian tahun 2021 lalu, karena lebih lambat kemunculannya, namun anomali curah hujan yang tercatat dapat menjadi referensi dalam melakukan upaya-upaya untuk mengurangi resiko yang mungkin terjadi," jelasnya. ***