Ancam Pelajar dan Mahasiswa karena Demo UU Ciptaker, Fadli Zon Minta Kemendikbud Belajar Sejarah

19 Oktober 2020, 05:56 WIB
LONGMARCH aksi massa aliansi demo mahasiswa di jalan RE Martadinata, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat 9 Oktober 2020.* /DialektikaKuningan.com/Ade Ardiansyah

JURNALGAYA - Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon membeberkan sejarah pergerakan bangsa yang sudah dilakukan pemuda sejak usia SMA.

Karena itu, ia mengecam tindakan yang dilakukan Kemendikbud dan Polri. Dua institusi itu dinilai sudah melewati batas karena mengancam mahasiswa dan pelajar yang berunjuk rasa.

"Pelajar dan mahasiswa yang ikut demo tak seharunya diancam, karena demonstrasi bukanlah perbuatan kriminal," ujar Fadli Zon dalam akun Twitternya @fadlizon, Minggu 19 Oktober 2020.

Fadli Zon mengatakan, aksi demonstrasi di berbagai daerah yang dilakukan para mahasiswa dan pelajar pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja, telah diberi stigma buruk oleh pemerintah.

Baca Juga: Permintaan MUI Ditolak Mentah-mentah Jokowi, Begini Kronologinya Ungkap KH Muhyiddin Junaidi

Padahal, demonstrasi bukanlah perbuatan kriminal atau bentuk kejahatan. Melainkan hak konstitusional warga negara yang dijamin hukum dan konstitusi.

Namun tiba-tiba muncul surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi bernomor 1035/E/KM/2020 yang meminta agar pimpinan perguruan tinggi mengimbau para mahasiswanya untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Ditambah ancaman blacklist SKCK (Surat Keterangan Cukup Kelakuan) dari pihak kepolisian kepada para pelajar yang ikut demonstrasi.

"Ini adalah bentuk intimidasi yang menyalahi ketentuan dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi bahkan hak azasi manusia (HAM)," tutur dia.

Baca Juga: Serang Marissa Haque, Dewi Tanjung: Emang Apa Hubungannya Omnibus Law Dengan Surga?

Fadli Zon mengatakan, berdemonstrasi atau aksi mengeluarkan pendapat lainnya yang dilakukan secara damai bukanlah tindak pidana dan bukan pula suatu kejahatan.

"Tak pantas kalau aparat pemerintah membuat stigmatisasi negatif kepada para pelaku aksi tadi, atau menakut-nakuti mereka dengan sejumlah ancaman hukum," tutur dia.

"Polisi tidak bisa dan tidak boleh melarang para pelajar ikut berdemonstrasi, karena memang tidak ada satu undang-undangpun yang melarangnya. Sama seperti halnya warga negara lain yang telah dewasa, para pelajar juga memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat di muka umum," ucap dia.

"Silakan baca di UU Perlindungan Anak, tidak ada larangan sebagaimana yang dikesankan oleh polisi. Undang-undang hanya melarang anak-anak itu dieksploitasi," katanya.

Ilustrasi Demonstrasi mahasiswa tolak omnibus law. /Pikiran-Rakyat.com/Ahmad Rayadie/

Kalau mahasiswa dan pelajar dieksplotasi, seperti dibayar, atau sejenisnya, ini yang dilarang undang-undang. Kalau ikut karena kesadarannya sendiri, aparat pemerintah tak boleh menghalang-halangi mereka.

Ia mengatakan, para pelajar di Indonesia, terutama siswa SMA dan SMK, bukanlah anak-anak kemarin sore. Bahkan sejak zaman Belanda, para pelajar setingkat SMA sudah terlibat dalam berbagai aksi politik.

Baca Juga: Masterchef Indonesia Season 7, Chika dan Isman Kecewa Harus Pulang Karena Ramos

Begitu juga yang terjadi pada tahun 1966, atau 1998, para pelajar kita dengan kesadarannya sendiri sudah biasa turun ke jalan. Pada usia itu, mereka memang sudah melek politik.

Jadi, kalau ada orang yang meragukan atau mengecilkan kesadaran politik anak-anak SMA dan STM, orang itu pastilah buta sejarah.

"Kalau pelajar saja sejak dulu sudah biasa terlibat dalam aksi unjuk rasa, apalagi mahasiswa. Sehingga, saya cukup heran membaca surat edaran Dirjen Dikti @ditjendikti," imbuh dia.

Baca Juga: Fadli Zon Sindir Pemerintah, Awal Pandemi 30 Ribu Napi Dilepas Kini Ribuan Demonstran Ditangkap

Baca Juga: Fadli Zon Tampar Pemerintah: Kolonialis Belanda Jauh Lebih Manusiawi Perlakukan Tahanan Politik

"Surat semacam itu harus dikecam, karena merupakan bentuk intervensi terhadap hak-hak politik dan kewargaan yg dimiliki para mahasiswa. Surat semacam itu adalah preseden buruk. @Kemendikbud_RI menurut saya, telah melanggar batas kewenangannya." ungkap dia.

Perlu diketahui, berbeda dengan pelajar, para mahasiswa umumnya telah berusia lebih dari 17 tahun, sebuah usia yang dalam sistem perundang-undangan Indonesia tak lagi dianggap sebagai anak-anak.

Pada usia itu, negara telah memberi mereka hak pilih, serta sejumlah hak politik lainnya, termasuk kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana halnya warga negara senior lainnya.

Hak politik itu melekat pada para mahasiswa dlm statusnya sebagai warga negara, bukan dlm status kemahasiswaan mereka.

Baca Juga: V BTS Bikin ARMY Histeris pada Pemotretan BTS untuk Musim Dingin, Kenapa?

Sehingga, mengintervensi hak-hak politik kewargaan itu melalui status kemahasiswaan mereka, adh bentuk tindakan sewenang-wenang, tdk arif, serta cenderung anti-demokrasi.

Kalau saja Dirjen Dikti hanya memberikan imbauan agar pimpinan perguruan tinggi mengingatkan mahasiswanya untuk mematuhi protokol kesehatan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari, itu tidak apa-apa.

Imbauan itu memang harus mereka sampaikan.Tetapi, begitu masuk ke isu demonstrasi omnibus law Cipta Kerja, itu sudah ‘offside’.

Begitu juga imbauan agar kampus melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja, itu merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan mimbar akademik di kampus.

 

Imbauan semacam itu telah merendahkan martabat perguruan tinggi kita, seolah mereka adalah kaki tangan rezim yang tugasnya sekadar menjadi humas pemerintah. Padahal, perguruan tinggi seharusnya diposisikan sebagai cagar alam intelektualitas.

Lagi pula, imbauan untuk mengkaji omnibus law adalah ajakan yang sangat basi. Mestinya, ajakan itu disampaikan ketika UU Cipta Kerja sedang dibahas di parlemen, agar kampus bisa ikut mengkritisi dan memberi catatan.

"Kalau sudah disahkan, apa gunanya diberi catatan? Jadi, ajakan untuk mengkaji UU Cipta Kerja, menurut saya, mengandung sesat pikir," tutur dia.

Baca Juga: Bikin Ngakak, Motor Alex Rins Mogok Sampai Harus Didorong Usai Menang di MotoGP Aragon 2020

"Demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik dan hak kewargaan yang dijamin tegas oleh konstitusi. Pemerintah, baik polisi atau 
@Kemendikbud_RI tidak bisa menjadikan pandemi sebagai dalih untuk membatalkan hak yg dimiliki oleh para pelajar dan mahasiswa itu," imbuhnya.

"Kalau pemerintah saja percaya bisa mengatur lebih dari 100 juta orang pemegang hak pilih pada Pilkada 2020 untuk mematuhi protokol kesehatan, kenapa kita tak bisa mempercayai ratusan, atau ribuan pelajar dan mahasiswa bisa berdemo dengan memperhatikan protokol serupa?"

"Saya berharap, polisi dan Kemendikbud seharusnya belajar menjadi pengayom," ucap dia.

Baca Juga: MotoGP Aragon 2020: Start di Posisi ke-10, Alex Rins Sukses Finis Terdepan

Kepada adik-adik pelajar dan mahasiswa, situasi saat ini memang dilematis. Saya paham, sikap diam akan cenderung dianggap sebagai persetujuan atas berbagai hal buruk yang saat ini tengah berlangsung. Namun, pandemi ini juga tidak bisa diabaikan.

"Tetap perhatikan protokol kesehatan saat sedang berada di jalanan untuk memperjuangkan hak-hak kewargaan yang telah dijamin oleh konstitusi kita," pungkasnya.***

Editor: Firmansyah

Tags

Terkini

Terpopuler