Oleh sebab itu, mayoritas ulama Syafi’i berpendapat masuknya sisa-sisa makanan yang sedikit dan sulit dipisahkan dari mulut tidak membatalkan puasa. Demikian pula rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan. Maka itu pun tidak sampai membatalkan karena tidak adanya wujud benda yang masuk pada rongga.
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ
Artinya, “Adapun hanya sekadar rasa makanan yang tersisa dari bekas makanan, maka tidak ada pengaruhnya bagi pembatalan puasa karena tidak ada wujud benda yang masuk dalam rongga.” (Lihat: Hasyiyah al-Bujairimi, juz I, halaman 249).
Kesimpulan ini diambil para ulama Syafi’i berdasarkan qaul Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: لا بَأْسَ أنْ يَذُوقَ الخَلَّ أوِ الشَّيْءَ، ما لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وهُوَ صائِمٌ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata, tidak masalah apabila seseorang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak masuk kerongkongan/memakan. (Musannaf Ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman: 304)
Dengan demikian, tentang mencicipi makanan jawabannya adalah tidak sampai membatalkan puasa, selama yang dicicipinya sedikit, tidak ada wujud makanan yang masuk ke dalam rongga, kemudian rasa makanan yang terasa di ludah dan masih mungkin dibuang dikeluarkan.
Terlebih, mencicipi makanan sendiri bagi orang yang tidak ada kebutuhan hukumnya makruh. Sementara orang yang membutuhkan seperti seorang juru masak, mencicipi makanan tidaklah makruh.
Baca Juga: Kultum Singkat Ramadhan, Tema: Madrasah Ramadhan
Hal ini bisa dilihat dalam fatwa asy-Syarqawi dalam kitabnya Hasyiyatusy Syarqawi ‘ala Tuhfatith Thullab :