Justru sebaliknya, perbedaan tersebut menjadi rahmat. Bagaimana tidak? Perbedaan itu pada gilirannya menjadi ajang produksi ilmu yang tiada henti.
Misalnya saja, suatu ketika Imam Al-Ghazali (1058-1111) menganggap bahwa kaum filsuf yang ada di dunia Islam saat itu tidak tepat dalam memahami proses penciptaan alam semesta dengan konsep emanasi.
Atas ketidaksepakatannya maka menulislah Imam Al-Ghazali dengan sebuah karya berjudul Tahafut al-Falasifah (Kesalahan para Filsuf).
Dalam konteks Nusantara pertentangan semacam ini juga terjadi, bahkan lebih keras.
Di awal abad ke-16 terdapat tokoh dari India bernama Syekh al-Burhanpuri (w. 1620) menulis buku Attuhfah al-Mursalah, yang berisi tentang ajaran tasawuf falsafi (bercorak filsafat).
Di masa berikutnya, Ibnu Rusyd (1126-1198) yang kurang sepakat dengan pandangan Al-Ghazali lalu menulis sebuah karya dengan judul Tahafut al-Tahafut (kesalahan buku Tahafut).
Pada masa berikutnya, muncul seorang ulama yang melakukan moderasi bernama Abdurrauf al-Sinkili menulis kitab Tanbih al-Masyi.
Al-Sinkili berusaha menengahi pertentangan antara al-Sumatrani dan al-Raniri.
Sampai disini, tampak bahwa pertentangan di antara para ulama ini menjadi produksi kitab-kitab bermutu.
Meskipun menjadi ajang kontestasi, akan tetapi hal semacam ini amat baik jika dapat dicontoh oleh generasi milenial.