Kejadian di Rancaekek Tornado atau Puting Beliung? Ini Kata Pakar Sains Atmosfer ITB

- 3 Maret 2024, 12:33 WIB
Salah satu titik kemacetan di Jalan Raya Rancaekek-Garut pascabencana angin puting beliung, Kamis, 22 Februari 2024.
Salah satu titik kemacetan di Jalan Raya Rancaekek-Garut pascabencana angin puting beliung, Kamis, 22 Februari 2024. /Pikiran Rakyat/Ahlaqul Karima Yawan/

Pada bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) terdapat musim monsun Asia yang masuk ke wilayah Pulau Jawa dari arah barat sehingga di wilayah Rancaekek dan sekitarnya akan sangat potensial terbentuk awan konvektif karena masih ada uap air yang cukup serta terdapat aliran yang masuk dari sela-sela pegunungan sekitar Sumedang. Aliran yang terpisah ini akan menciptakan adanya wind shear (perbedaan kecepatan arah angin) yang menyebabkan aliran menjadi berputar. Hal ini yang diperkirakan sebagai mekanisme pembentuk dari pusaran.

“Melalui kajian yang sudah ada di Meteorologi, adanya aliran pola yang berputar ini disebut dengan tornado, terlepas dari berapa intensitasnya. Maka dari itu, fenomena ini kita sebut tornado. Itu merupakan hasil dari asesmen yang telah kita lakukan,” ujarnya.

Baca Juga: So Sad! VAV Hengkang dari Agensi Ateam Setelah 9 Tahun Bersama, Memulai Perjalanan Baru

Tornado di Rancaekek yang Pertama di Indonesia?

Terkait hal ini, Dr. Nurjanna Joko Trilaksono menjelaskan, “Kalau berkaca melalui fenomena yang terjadi dari cumulonimbus, ini bukan hal yang langka. Kita bisa yakin dan bilang bahwa itu bukan yang pertama.”

Menurut beliau, BMKG memiliki cara lain untuk mendefinisikan puting beliung atau tornado berdasarkan kekuatannya. “Kalau kita mendefinisikan tornado berdasarkan proses fisisnya. BMKG melihat dari aspek kekuatannya yang tidak besar, maka dimasukkan ke dalam kategori puting beliung, meski puting beliung adalah small tornado,” tuturnya.

“Hal yang ingin saya highlight adalah mau tornado atau puting beliung, daripada meributkan itu, lebih baik melihat apa yang menjadi dampak dari awan cumulonimbus ini. Meski kadang seringnya kecil, tetapi bisa juga menjadi besar dan merusak apa yang ada di permukaan. Lebih baik terus belajar, sehingga kita tahu apakah objek cumulonimbus ini bisa menghasilkan bencana dan dampak yang besar atau tidak,” tuturnya.

“No such thing as bad weather, just bad clothing. Tidak ada bad weather, tetapi lebih ke arah kita saja yang tidak bisa menghadapinya,” katanya, menutup sesi webinar tersebut.***

Halaman:

Editor: Juniar Rodianur

Sumber: ITB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x