Tahun 1940, VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres menugaskan Prof Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran. Tiga tahun berselang, pada masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa izi Hooko-Kai.
Selanjutnya pada 30 Juli 1950, atas usul Dr Seni Sastromidjojo, PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) & DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) mengadakan satu pertemuan yang menghasilkan “Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI)”, yang diketuai Dr Bahder Djohan.
Puncaknya tanggal 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park yg kemudian diresmikan pada bulan Oktober. Dalam muktamar IDI itu, Dr Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.
Baca Juga: Eks Pengungsi Timor Leste Mengaku Jauh dari Teror dan Kini Hidup Damai Bahagia di Indonesia
Pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris. Pada tanggal itulah ditetapkan hari jadi IDI yang juga diperingati sebagai Hari Dokter Nasional di Indonesia.
Kemerdekaan RI
Jauh sebelum IDI terbentuk, dokter-dokter di tanah air lekat dengan pejuang kemanusiaan bahkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebut saja dr Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesomo, dan nama-nama dokter lainnya, mereka tak hanya berurusan dengan penyakit, namun juga penjajahan dan politik pada saat itu.
Baca Juga: Tak Hanya Bekasi, Angin Puting Beliung Hantam Lebak Banten, Rumah dan Lahan Pertanian Rusak
Semua bermula di STOVIA, sekolah pendidikan dokter. Di sini terlahir dokter-dokter pejuang kemerdekaan.