Buruh Curhat Omnibus Law Cipta Kerja di Mata Najwa: Bentuk Perbudakan Zaman Modern

- 8 Oktober 2020, 09:39 WIB
aksi unjuk rasa menolak Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR karena dinilai merugikan para pekerja. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/foc.
aksi unjuk rasa menolak Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR karena dinilai merugikan para pekerja. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/foc. /ABRIAWAN ABHE/ANTARA FOTO

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal dengat tegas mengatakan, pihaknya tidak setuju UMK bersyarat.

"Kami tidak setuju UMK bersyarat, kembalikan. UMK ya UMK. Dan kami tidak setuju UMSK dihilangkan, kembalikan, UMSK harus ada," kata dia.

"Pesangon dikurangi dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah. Kami minta tidak ada pengurangan nilai pesangon kembali kepada 32 bulan upah. Karyawan kontrak atau periode seumur hidup kami tidak setuju. Karena itu perbudakan zaman modern," ucap dia.

Baca Juga: Buruh dan Mahasiswa Kepung Istana, Presiden Jokowi Bergegas Berangkat ke Kalimantan

Ilustrasi unjuk rasa buruh. /antaranews.com
Ilustrasi unjuk rasa buruh. /antaranews.com

Hal ini ditanggapi Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR. Ia mengatakan, pihaknya membentuk tim perumus. Kemudian lahirlah kesepakatan, pihaknya akan pertahankan semua tuntutan buruh.

"Keinginan buruh sederhana, bagaimana UU 13 dipertahankan, itu komitmen kami. Kedua, dari 7 masalah isu utama buruh, 95 persen tetap seperti yang diatur UU 13," ungkap Supratman.

"Seperti pertama, RPTKA, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang sekarang katanya bebas masuk, itu tidak benar," tutur dia.

Kedua, sanksi pidana dikembalikan ke UU 13. Ketiga, PKWT dan outsorching kebanyakan dikembalikan ke UU 13. Lalu upah minumum padat karya yang dipermasalah buruh, dihapus.

Lalu UMK dibuat dengan formula baru dengan memerhatikan inflasi dan lainnya.***

Halaman:

Editor: Firmansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x