Hentikan Jargon dan Mistifikasi, Zainal Mochtar: Jokowi Nikahi lagi Publik Sebelum Kutukan Kedua

- 21 Oktober 2020, 08:56 WIB
/@zainalarifinmochtar

JURNAL GAYA – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan, Jokowi akan mengalami The curse of Second Term atau kutukan di periode kedua jika ia tak segera mengembalikan orientasinya kepada publik, bukan pada kepentingan partai politik.

Menurut Zainal, kepemimpinan Jokowi bisa mengalami kutukan di periode kedua jika disoerientasi ini terseret pada fragmentasi perebutan kekuasaan menuju pemilihan presiden di 2024.

“Segeralah nikahi publik untuk sisa empat tahun ke depan ini karena orientasi presiden adalah kepentingan publik, bukan pertain politik. Kalau berkaca kepada Amerika, kutukan di periode kedua ini bisa terjadi karena kepemimpinan mengalami disorientasi pada kepentingan politik langsung,” ujar Zainal Arifin Mochtar saat berbicara di Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa malam, 20 Oktober 2020.

Baca Juga: Sujiwo Tejo Bikin Karni Ilyas Speechless, ILC Tak Tayang Di Telepon Siapa?

Baca Juga: ShopeePay Perkuat Keamanan Akun Pengguna dengan Rekognisi Wajah dan Sidik Jari

Zainal juga mengingatkan, pergeseran orientasi pada kepentingan partai politik juga akan menjadi senjata pamungkas bagi pihak lain yang berambisi meraih kekuasaan di Pilpres 2024.

“Perlu diingatkan bahwa sebentar lagi semua akan sibuk menyalahkan presiden, karena siapa pun akan merebut kekuasaan menuju 2024. Mau yang sekarang mesra mesra dengan presiden atau menjadi oposisi nanti akan menyalahkan, dan itu akan menjadi sebuah kegagalan di periode 2,” tandasnya.

Termasuk menyikapi Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, pakar hukum tata negara ini menyimpulkan pengesahan UU ini sangat terburu-buru dan ugal-ugalan lantaran draft UU tersebut banyak mengalami revisi setelah disetujui.

Baca Juga: Gatot Nurmantyo Tak Takut Ditangkap Jaga Marwah TNI, Masih Jabat Jadi Macan Pensiun Masa Jadi Kucing

Baca Juga: Heboh, Megawati Soekarnoputri Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Ia melanjutkan, pengesahan UU di DPR sifatnya sudah final dan tak bisa lagi diperbaiki setelah draft tersebut ada di tangan presiden. Alasan ini berkaitan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut presidensial.

“Sekalipun titik koma itu tidak boleh diubah karena tahapan paling penting dalam pembuatan UU di DPR justru ada di pembahasan. Beda dengan Amerika yang memang persetujuannya ada di presiden karena akan ditandatangani presiden,” ungkapnya.

Dalam pandangan Zaenal, penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja sangat tak masuk logika karena di dalamnya banyak ditemukan pasal-pasal yang tidak sinkron dan tumpang tindih.

Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Baca Juga: Puan Maharani Sok Tegas kepada Jokowi: Pemerintah Harus Bekerja Lebih Keras!

Baca Juga: Ma'ruf Amin Blak-blakkan soal Reshuffle Kabinet: Saya Diajak Bicara Tapi Itu Hak Prerogatif Presiden

“Makanya saya bilang ugal-ugalan dan menyebalkan karena banyak pasal yang tak logis. Misalnya soal sanksi pidana yang diubah menjadi sanksi administratif , lucunya di bawahnya masih disebutkan ancaman pidananya, kan ini bikin saya tertawa ngakak bacanya,” papar Zainal

Lebih lanjut Zainal juga mengingatkan, pemerintah dan pihak legislatif di Indonesia lebih baik menghentikan jargon-jargon dan mistifikasi atau pengecohan kepada masyarakat lantaran praktik ini sudah ketinggalan zaman.

“Sudah enggak zaman lagi karena masyarakat sudah cerdas. Hentikan jargon dan mistifikasi untuk meyakinkan publik karena mereka sudah paham bahwa kata ‘yakinlah’, ‘percayalah’ sudah tidak berlaku lagi,” katanya.

 

Baca Juga: Jokowi Lupakan Wapres di Acara Kenegaraan, Ma'ruf Amin: Manusiawi, Sama Istri Saja Saya Suka Lupa

Ia menegaskan, saat ini publik sudah demikian cerdas untuk mencerna jargon dan mistifikasi. Sebaliknya menurut Zaenal, mereka menuntut transparansi, akuntabilitas dan partisipasi seperti yang dicita-citakan pada sebuah Good Governance.

“Mengapa saya sebut ugal-ugalan, ya karena kita paham bahwa di dalam penyusunan itu banyak diboncengi oligarki, konflik kepentingan, dan bahkan mereka yang ada di Satgas Omnibus Law UU Cipta Kerja itu juga banyak terafiliasi dengan beberapa perusahaan tertentu,” pungkasnya.***

 

 

Editor: Dini Yustiani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x