6 Cara Konstitusional yang Dapat Dilakukan Masyarakat Jika Omnibus Law Tetap Berlaku

- 30 Oktober 2020, 13:19 WIB
Dosen institut STIAMI dan sekretaris Komisi 1 DRD DKI Jakarta Eman Sulaeman Nasim, moderator Seminar FAPI tentang Omnibuslaw, kemarin di Jakarta.
Dosen institut STIAMI dan sekretaris Komisi 1 DRD DKI Jakarta Eman Sulaeman Nasim, moderator Seminar FAPI tentang Omnibuslaw, kemarin di Jakarta. /

JURNAL GAYA - Niat awal Presiden Joko Widodo membentuk Undang-undang (UU) sapu jagat atau Omnibus Law yang kemudian bernama UU Cipta Kerja (CK), adalah baik, yaitu untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya ke dalam negeri, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, sekaligus menyederhanakan proses perizinan di segala bidang.

Akan tetapi, menurut Pengamat Kebijakan Public yang juga Dosen Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI dan Sekretaris Komisi I Dewan Riset Daerah Provinsi DKI (DRD DKI) Jakarta, Eman Sulaeman Nasim, dalam perjalanannnya UU Cipta Kerja dibuat tergesa-gesa, hanya 8 bulan 14 hari, serta melibatkan beberapa orang pengusaha dan pejabat negara.

"Tata cara pembuatannya tidak transparan juga menyalahi prosedur pembuatan UU. Proses pembahasannya juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dan tidak melalui kajian akademis," katanya, ketika membacakan kesimpulan Webinar yang bertema “Antisipasi Penandatanganan UU Cipta Kerja: Alternatif SOLUSI” yang digelar Forum Perguruan Tinggi seluruh Indonesia (FAPI), di Jakarta, kemarin.

Baca Juga: Libur Panjang Cuti Bersama 509.149 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Baca Juga: Cara Baru Bayar QRIS, Unggah QRIS ke ShopeePay Dari Galeri Ponsel

UU tersebut akhirnya memunculkan kekhawatiran dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Muncul penolakan-penolakan terutama dari kalangan mahasiswa, buruh dan kalangan pemuka agama serta cendekiawan diberbagai daerah di seluruh Indonesia.

Bila Presiden tidak mencabut atau tidak megeluarkan Perpu sebagai pengganti UU Cipta Kerja, menurut dia, maka seluruh rakyat mempunyai kewajiban untuk mengawasi dan mengkritisi penerapannya, sehingga tidak merugikan bangsa dan negara Indonesia.

“Mereka yang menolak UU Cipta Kerja jangan distreotipkan atau disebut anti pemerintah. Sebagai alumni perguruan tinggi, kita harus professional dan bersikap objektif dalam memandang permasalahan negara khususnya politik di negeri kita," katanya.

Baca Juga: Australia Terancam Kehilangan Timor Leste Jika Tak Rangkul Prabowo Seperti AS, Ini Sebabnya

Masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, menurut dia, adalah mereka yang punya perhatian lebih besar terhadap masa depan bangsa dan negara kita.

"Jangan sampai negara yang kita cintai, hasil perjuangan nenek moyang kita merebut dari tangan para penjajah dengan mengorbankan harta dan nyawa, justru jatuh ke tangan pengusaha pengusaha asing. Lapangan pekerjaannya justru banyak diisi oleh tenaga kerja asing," katanya.

Ia mengatakan, sesuai pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, negara Indonesia ini sudah seharusnya diperuntukan sebesar-besarnya untuk kesejahtera rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan untuk investor dan tenaga kerja asing,” papar Wakil Ketua Umum FAPI tersebut.

Baca Juga: Lama Tak Muncul, Anak SBY Tiba-tiba Geram Ajak Umat Islam Bersatu: Mari Kita Buktikan!

Ketua Umum FAPI, Ahmad Syarbini, mengajak seluruh alumni perguruan tinggi, untuk tidak tinggal diam dan harus bersikap kritis atas pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu.

Ia menilai, UU Cipta Kerja akan berdampak negatif bagi tenaga kerja Indonesia. Pasalnya, dalam salah satu pasal yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan, UU Cipta Kerja mempersilahkan tenaga kerja asing untuk masuk dan menduduki hampir seluruh lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia, menghilangkan hak cuti haid, dan pemotongan hak hak pegawai lainnya.

“UU Cipta Kerja ini disusun terlalu terburu-buru. Dalam proses pembuatannya tidak memenuhi syarat formil maupun materil, sebagaimana seharusnya sebuah undang undang itu dibuat," tuturnya.

Baca Juga: Milenial Diajak Berbisnis Melalui Dunia Digital untuk Patahkan Keterbatasan Era Pandemi

Ia menilai, UU ini lebih banyak mengakomodasikan kepentingan investor. Menurut dia, sejatinya saat ini Indonesia tidak memerlukan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

"Yang kita butuhkan saat ini adalah upaya serius dari pemerintah dalam mengatasi musibah dunia, pendemi Covid-19 serta penegakkan hukum,” ujar Ahmad.

Pakar hukum dari FHUI, Heru Susetyo, sependapat dengan Ahmad Syarbini atau Abi. Menurut Doktor hukum lulusan Mahidol University, Thailand, ini, secara prosedur, UU ini bermasalah karena tidak melewati kajian akademis dan diskusi publik, sehingga tidak menampung dan mendengarkan pendapat dan aspirasi masyarakat.

Baca Juga: Logistik Indonesia Tumbuh 6,5% Per Tahun Sampai 2022, Ini Peluangnya

"Secara materil dan metodologi, bermasalah karena menggabungkan UU yang baru dengan yag lama dan menyenggol terlalu banyak wilayah. Menurut saya UU ini dibuat secara brutal," katanya.

Seperti diketahui, UU ini disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu. Setelah disahkan pun, oleh pemerintah masih dilakukan revisi. Padahal, menurut Heru, seharusnya setelah disahkan oleh DPR RI, tidak lagi ada revisi sepihak, apalagi samoai jumlah halaman berubah-ubah.

Ditandatangani atau tidak ditandangani, disetujui atau tidak disetujui Presiden, menurut dia, meskipun ditentang dan ditolak oleh sebagian besar masyarakat di seluruh Indonesia, jika Presiden tidak menerbitkan Perarturan pengganti Undang undang (Perpu) atau menarik UU tsb, maka Omnibus Law UU Cipta Kerja ini akan berlaku dan sah menjadi UU 30 hari sejak disahkan atau disetujui DPR RI.

Baca Juga: Petani, Buruh, dan Pelaku Industri Hasil Tembakau Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai Rokok

"UU ini akan berlaku mengikat seluruh warga negara dan siapapun yang ada di negara ini mulai 4 November yang akan datang," katanya.

Lalu apa yang dapat dilakukan masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja ini, jika sampai 4 November 2020 mendatang, Presiden tidak juga menunda UU Cipta Kerja atau mengeluarkan Perppu?

Menurut anggota Komisi I DRD DKI Jakarta ini masyarakat atau rakyat Indonesia memiliki 6 piliihan cara yang konstitusional. Apa saja cara-cara tersebut? Berikut, seperti diungkapkan Heru:

Baca Juga: Ngerii, Bocah 12 Tahun Tangannya Harus Diamputasi Karena Diserang Hiu

1. Mendesak DPR RI melakukan legislative review

"Minta DPRT untuk mengkaji kembali UU ini. Namun, saya pesimistis jika DPR RI mau melakukan langkah ini. Pasalnya, hanya 2 fraksi yang menolak pengesahan UU Cipta kerja, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilam Sejahtera. Mereka tidak mungkin mereview atas apa yang telah mereka lakukan,” kata Heru.

2. Meminta DPR RI melakukan amandemen

Amandemen adalah mencabut atau merubah keseluruhan atau sebagian dari pasal pasal UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Kim Jong Un Bakal Jadikan Mantan Pacar Penguasa Korea Utara, Bagaimana Nasib Adik dan Istrinya?

3. Mengawal peraturan-peraturan yang menjadi turunan dari UU Cipta Kerja

Aturan turunan UU Cipta Kerja berupa peraturan pemerintah (PP) . Mengingat UU ini melewati banyak wilayah dan mengganti banyak UU yang sudah ada, maka diperlukan 33 PP. 

Namun, lagi-lagi Heru pesimistis dua cara ini dua cara ini bisa dilakukan oleh DPR RI maupun pemerintah dan masyarakat. mengingat masih banyak UU di luar UU Cipta Kerja yang sudah lama disahkan namun belum memiliki PP.

“Jika PP ditargetkan sebelum Presiden Jokowi turun dari kekuasaannya, maka pembuatan 33 PP ini membuat menteri menteri terkait, tergopoh-gopoh membuat PP. Dan pembuatan PP ini berarti akan dikebut juga karena harus kejar tayang. Otomatis, akan minim partisipasi public dan kecil kemungkinan meminta pendapat masyarakat. Saya yakin pemerintah tidak akan meminta pendapat masyarakat secara umum. Partisipasi masyarakat pasti dikesampingkan,” papar Ketua pusat kajian Islam dan hukum Islam FHUI ini.

Baca Juga: Unpad Dinobatkan Sebagai Pemenang Debat SDGs Ke-2

4. Terus mengawasi dan mengkritisi penerapan dari UU Cipta Kerja

Dengan demikian, pasal-pasal yang membahayakan dan merugikan masyarakat tidak merugikan masyarakat bangsa dan negara.

5. Mengajukan uji materil dan formil ke Mahkamah Konstitusi (MK)

“Namun cara ini pun saya tetap pesimistis. Sebab, hakim MK itu ada 9 orang . 3 hakim diusulkan oleh DPR RI, 3 hakim diusulkan oleh pemerintah, dan sisanya dari Mahkamah Agung," katanya.

Meskipun Hakim MK harusnya berisifat netral dan objektif, namun, ia mengaku yakin, mereka tidak akan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan lembaga yang mengusulkannya.

"DPR RI dan pemerintah jelas mereka yang mengusulkan dan mengesahkan UU omnibuslaw. Tidak mungkin hakim MK yang diusulkan DPR RI dan Pemerintah akan membuat keputusan yang bertentangan dengan lembaga yang mengusulkannya,” papar manajer riset dan publikasi FHUI ini.

Baca Juga: Rencana Kenaikan Cukai Rokok Ditolak, Khawatir Petani Tembakau dan Cengkih Kian Merana

6. Terus mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan Perpu pengganti UU Omnibus Law.

Namun, seperti diketahui, presiden Jokowi sendiri berulang kali menyampaikan tidak akan mengeluarkan Perpu untuk membatalkan atau mengganti UU Cipta Kerja.

Sementara pembicara lainnya, Indra Lesmana dari Universitas Andalas menyampaikan, sebaiknya masyarakat melakukan mosi tidak percaya kepada DPR RI dan pemerintah karena telah mengeluarkan UU yang merugikan bangsa Indonesia.

Menurut dia, mosi tidak percaya dapat disampaikan dan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Sehingga pada akhirnya bisa melakukan pemilu yang dipercepat.

Baca Juga: Jangan Menyerah, Lowongan CPNS 2021 Dibuka Lebih Banyak dari Tahun Lalu, Cek di Sini!

Sementara pembicara wakil dari alumni Universitas Brawijaya Malang, Utari Sulistiowati, berpendapat, sebaiknya para tokoh dan guru bangsa berkumpul menemui Preisden Jokowi dan para Menko dan Ketua DPR RI, agar menarik UU Cipta KerjaK tersebut.

"UU ini mengkhawatirkan dan membahayakan kelangsungan negara dan bangsa jangka pendek dan jangka panjang," tuturnya.

Baca Juga: 5 Fakta Oknum Netizen Kena Batunya Akibat Komentar Jahat, Salah Satu Korbannya BTS

Ketua Dewan Pertimbangan FAPI. Dodi Haryadi, mengatakan, UU Cipta Kerja menimbulkan kecemasan sosial. Dia mengkhawatirkan, apabila presiden tidak mengeluarkan Perpu pengganti UU Cipta Kerja, akan menimbulkan gelombang protes dari masyarakat yang semakin besar.

"Bila ini yang terjadi, tujuan UU Cipta Kerja yang dibuat menarik investor akan gagal. Investor malah akan ketakutan," ujarnya.

Webinar ini diikuti hampir 150 peserta alumni berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia, dibuka oleh Ketua Umum FAPI 2018 – 2023 yang juga alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Ahmad Syarbini alias Abi. Menghadirkan Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang juga anggota Komisi I DRD DKI Jakarta Heru Susetyo , dosen Psikologi Universitas Padjajaran Bandung yang juga ketua dewan pertimbangan FAPI Doddy Haryadi, pengurus FAPI masing -masing Utari Sulistiowati, dan Indra Lesmana.***

Editor: Nadisha El Malika


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah