Perjanjian penjualan itu membuat setengah dari jumlah produksi vaksin Pfizer-BioNTech pada 2021 dikuasai Uni Eropa.
Baca Juga: Raffi Ahmad Langsung Dihubungi Pemerintah, Siap Divaksin Bareng Presiden
Menurutnya, hal tersebut menjadi masalah bagi dunia di mana terjadi ketidakadilan dan ketimpangan antara negara kaya dan miskin.
Padahal semua negara berhak mendapatkan vaksin yang cukup untuk melindungi penduduk mereka dari ancaman penyakit.
Namun belakangan situasi semakin tidak kondusif dan negara-negara kaya seolah kalap membeli vaksin akibat kekhawatiran penyebaran virus corona yang bermutasi di Inggris dan Afrika Selatan.
Saat ini negara-negara berada seperti Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Swiss dan Israel berada di dalam daftar tunggu pertama untuk mendapatkan vaksin Covid-19 dari berbagai perusahaan farmasi seperti Pfizer-BioNTech, Moderna, serta AstraZeneca.
Untuk mencegah supaya vaksin tidak dikuasai negara-negara tertentu, WHO meminta para produsen memberikan data secara langsung hasil produksi vaksin mereka dalam sehari sehingga bisa terpantau.
Baca Juga: 5 Idola K-Pop Ini Mengalami Hal Menyedihkan Sebelum Debut, Ada V BTS dan IU
Selain itu, WHO menyatakan COVAX sampai saat ini berhasil menggalang dana antara US$6 miliar sampai US$7 miliar untuk membantu pengadaan vaksin bagi 92 negara berkembang.
Kepala Badan Darurat WHO, dr Mike Ryan pun mendesak seluruh negara di dunia memprioritaskan tenaga kesehatan dan kelompok usia rentan untuk paling awal disuntik vaksin corona.