Istana Makin Waspada! Jokowi Bisa Bernasib Sama dengan Presiden Soeharto, Ini 3 Alasannya

- 16 November 2020, 18:37 WIB
Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi. /Setkab.go.id

JURNAL GAYA - Sepak terjang Presiden Jokowi dalam memimpin Indonesia, tak pernah luput dari onak duri hingga isu dijungkalkan seperti halnya Presiden Kedua RI, Soeharto.

Ihwal posisi Jokowi yang kerap dipertemukan dengan jalan terjal, tak lain karena badai resesi ekonomi dan dorongan berbagai tekanan publik di dalam negeri. Tak heran, kondisi ini menyeratnya ke dalam memori dan situasi kepemimpinan di era Soeharto yang turun setelah 32 tahun berkuasa.

Sengkarut ini bukan tanpa sebab, karena desakan publik ini dipicu oleh berbagai kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat. Pemantik itu diantaranya RUU KPK yang dkiklaim melemahkan kekuatan KPK dan yang tak kalah panas adalah RUU Cipta Kerja yang disebut-sebut sebagai Undang-Undang “rakus”.

Baca Juga: Usai Diperiksa KPK, Marzuki Alie Bantah Disuap Rp6 M: Emang Uang Sedikit? Buktikan Kalau Ditransfer!

Seperti yang dikutip dari Jurnal Presisi pada Senin 16 November 2020, dalam artikel Istana Siaga Satu! Nasib Jokowi Bisa Berujung Seperti Soeharto, Ini 3 Penyebabnya disebutkan, ketidakpuasan publik terjadi manakala Jokowi mengesahkan RUU KPK, tindakan ini diendus sebagai upaya pelemahan KPK agar tidak menjadi lembaga yang antibodi.

Patut diketahui, KPK banyak sekali menjebloskan pihak ekeskutif maupun legislatif ke penjara.

Yang terbaru adalah, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menjadi pihak yang dituding oleh masyarakat sipil atas dukungannya pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang oleh banyak kalangan bermasalah dan kontroversial.

Baca Juga: Solusi Makan, Belanja, dan Transportasi dari Merchant Baru ShopeePay Minggu InI

Pada 6 Oktober 2020, melalui sidang paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan RUU Omnibus Law yang hingga saat ini masihi dikritik. Salah satunya yang menggelikan adalah salah ketik di beberapa bagian dan hilangnya pasal 5.

Pasca pengesahan itu, masyarakat merespon dengan unjuk rasa di beberapa daerah di Indonesia dan terus akan berlanjut.

Beberapa lembaga survei juga menunjukkan respon negatif masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi.

Baca Juga: Dahsyat! Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp5.764,9 triliun

"Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (79,6 persen)," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers virtual, Sabtu 25 Oktober 2020.

Akademisi UII, Muhammad Zulfikar Rahmat dan Peneliti INDEF, Media Wahyu Afkar menyatakan akumulasi kekecewaan publik terhadap Jokowi menjadi tiga isu utama.

  1. Kegagalan Jokowi memberikan perlindungan bagi Masyarakat Indonesia dalam Menghadapi Pancemi CovidPemerintah secara resmi melaporkan kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020.

Sebelumnya, jajaran di pemerintah terkesan meremehkan hingga merespon dengan tidak serius meski sebagian pihak telah memberikan warning mengenai wabah yang merebak pertama kali di Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019.

Presiden RI Joko Widodo
Presiden RI Joko Widodo Biro Pers Sekretariat Presiden

Baca Juga: Pandemi Tak Kunjung Usai, Para Ahli Prediksi Dunia Kembali Normal Akhir 2021

Kini, Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi di Asia Tenggara.

Pada 7 November 2020, 430 ribu kasus Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara dan peringkat 21 di dunia.

Yang menjadi sorotan, khususnya para akademisi adalah pemerintahan Jokowi lebih fokus untuk menyelamatkan kondisi Ekonomi di tengah badai resesi.

Baca Juga: UAS Nyatakan Support Partai Masyumi Reborn dari Atas Sampai Bawah

Pemerintah terlihat enggan melakukan sejumlah antisipasi demi mengurangi penyebaran virus Corona.

"Alih-alih mengalokasikan sumber daya ke sektor kesehatan ketika virus pertama kali menyerang negara Indonesia pada Maret, pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan hampir Rp 300 miliar di sektor pariwisata untuk menangkal dampak negatif dari wabah virus corona.

Inisiatif, yang bertujuan untuk menarik lebih banyak turis asing, akhirnya ditunda karena tekanan dari masyarakat." dilansir dari the conversation 6 November 2020.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Ini Cara Daftar Bantuan UMKM Rp 2,4 Juta

Hal ini berkebalikan dengan dua negara tetangga, Vietnam dan Singapura. Kedua negara itu dianggap berhasil dalam menangani penyebaran Covid-19.

"Ketika negara-negara seperti Vietnam dan Singapura yang mendapat pujian atas penanganan COVID-19 mereka telah memberlakukan aturan ketat untuk melindungi rakyatnya.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru hanya memikirkan agar aktivitas ekonomi tetap berjalan normal."

Baca Juga: 48 Tahanan Bareskrim Positif Covid-19, Termasuk Gus Nur, Jumhur Hidayat, dan Petinggi KAMI Medan

Keputusan lainnya yang membuat publik semakin bertanya-tanya adalah, Kementrian BUMN mengharuskan karyawannya yang berusia di bawah 45 tahun untuk tetap bekerja di kantor, mengabaikan anjuran bekerja dari rumah.

Kebijakan ini sebagai upaya untuk melakukan relaksasi atau melonggarkan kebijakan lockdown secara parsial, khususnya di bidang bisnis.

Publik juga dikejutkan dengan kehadiran 500 pekerja Cina sebagai bagian sejumlah pengerjaan proyek-proyek Cina di Indonesia.

presiden jokowi
presiden jokowi

Baca Juga: Gempa 8,9 Magnitudo Disertai Tsunami 10 meter di Kota Padang, Pakar Ungkap Detail Penyebabnya

Menjawab keresahan masyarakat, Menko Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan manyetakan bahwa hal ini sebagai bagian dari meningkatkan perekonomian negara.

Keputusan tersebut malah menjadi kontradiksi dengan kebijakan penanganan Covid-19 seperti pembatasan sosial.

Tidak harmoninya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendeteksi individu juga menjadi permasalahan dalam penentuan jumlah individu yang tertular.

Baca Juga: Rilis Single Baru, Bella Fawzi Gandeng Asteriska Barasuara

Tenaga medis, sebagai ujung tombak dalam memerangi pandemi ini juga tida dibekali dengan perlengkapan yang memadai. hingga saat ini, ratusan tenaga medis menjadi korban dari overload bekerja maupun tertular pasien Covid-19. Tragisnya, sejauh ini Indonesia tengah mengalami resesi sedangkan korban Covid semakin bertambah dari hari ke hari.

  1. Tidak Mempedulikan Keluhan Masyarakat

Pada pertengahan tahun, sejumlah elemen masyarakat, termasuk kelompok Agama terbesar di Indonesia, menyerukan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada

Namun hal ini direspon negatif, pemerintah tetap bersikeras untuk terus melanjutkan pemilihan di 270 daerah di akhir tahun.

Baca Juga: Dualisme Jimin BTS di Bandara yang Bikin ARMY Oleng Sampai Nangis Kejer

Pemerintah berdalih akan menerapkan protokol kesehatan sehingga tidak berdampak positif terhadap pertambahan jumlah korban Covid-19.

Faktor ekonomi lagi-lagi menjadi tameng. Saat masa Pilkada, roda perekonomian akan terus berputar.

Buah pemikiran hasil kolaborasi antara dosen HI dan peneliti di organisasi yang berfokus pada isu-isu Pengembangan Ekonomi dan Keuangan ini menyatakan bahwa sikap masa bodoh disebabkan oleh dua hal:

Baca Juga: Irwan Mussry Ulang Tahun, Maia Estianty Tulis Pesan Khusus, Bikin Meleleh!

"Pertama, faktor Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution menjadi peserta Pilkada di Solo, Jawa Tengah dan Medan, Sumatera Utara.

Alasan penundaan ini akan berdampak negatif bagi keikutsertaan kedua kandidat yang diusung oleh partai PDI-P."

Permasalahan berikutnya yang membuat rakyat semakin geram adalah Jokowi tidak mengindahkan keluhan rakyat soal RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Babak Berikutnya Dugaan Gratifikasi Suharso Monoarfa, KPK Memanggil Nizar Dahlan

"Kedua, Jokowi menutup telinga atas tuntutan masyarakat untuk menghentikan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Sebaliknya dia dan anggota parlemen diam-diam mengeluarkan undang-undang yang dikritik karena mengorbankan tenaga kerja dan lingkungan demi mengutamakan kepentingan investor."

Unjuk Rasa di berbagai wilayah di Indonesia tidak membuat Jokowi bergeming. Malah, rakyat dihadiahi oleh gas air mata dan ditangkap tanpa didampingi kuasa hukum.

Baca Juga: 48 Tahanan Bareskrim Positif Covid-19, Termasuk Gus Nur, Jumhur Hidayat, dan Petinggi KAMI Medan

  1. Kriminalisasi Oposisi

Buruknya pemerintahan Jokowi dapat terlihat dari represi yang dilakukan pemerintah dalam membungkan orang-orang kritis atas kebijakannya. Beberapa bahkan telah ditangkap.

"Salah satunya adalah Ravio Patra, peneliti independen dan pemerhati pengelolaan data dan informasi pemerintah, yang ditangkap atas tuduhan menyebarkan informasi palsu setelah mengkritik pemerintah di Twitter."

Belakangan ini, Pemerintah merambah ke media sosial dan tidak segan-segan menutup akun yang sering mengkritik pemerintah dan dilabel dengan penyebar hoaks.

Baca Juga: Usai Diperiksa KPK, Marzuki Alie Bantah Disuap Rp6 M: Emang Uang Sedikit? Buktikan Kalau Ditransfer!

Sebelumnya, aktivis, jurnalis dan sutradara film dokumenter, Dhandy Laksono juga ditangkap ada 27 September 2019.

Pihak berwajib mengenakan pasal Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

UU ini mengatur tentang penyebaran ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok berdasarkan SARA.

Instagram

Baca Juga: Bocoran Ikatan Cinta Senin 16 November 2020, Andin Nangis Bertanya ke Al Kenapa Takut Mencintainya!

Pria berusia 44 tahun ini kerap mengkritik pemerintahan melalui berbagai film dokumenter lewat Watch Doc Documentary.

Salah satu yang menghebohkan adalah dokumenter 'The Sexy Killer'. Film yang berdurasi 1,5 jam itu mengungkap peran para elit politik di balik bisnis batu bara.

Dalam film ini diceritakan bagaimana industri batu bara berdampak pada warga, terutama nelayan dan petani.

Baca Juga: Komisi VI DPR RI Desak Pemerintah Reformasi Update Databese UMKM

Selain itu, musisi dan juga aktivis, jerinx juga ditangkap dan diancam hukuman 3 tahun penjara setelah unggahannya dalam ujaran "IDI Kacung WHO".

Bukan kali ini saja pria bernama asli Ari Astina ini mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebelumnya, drummer SID ini juga bergabung dalam Gerakan "Bali Tolak Reklamasi".

Instagram

Dampak dari aktivitas tersebut adalah band Punk asal Bali, Superman Is Dead kesulitan bermain di sejumlah tempat karena pilihan politik band yang pernah melakoni tur di Amerika pada tahun 2009. ***Yudha

 

 

Editor: Dini Yustiani

Sumber: Jurnal Presisi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah