Dalam ayat diatas terdapat 8 golongan yang menjadi mustahik atau penerima penyaluran harta zakat fitrah.
Kedelapan asnaf itu selanjutnya dijadikan tolok ukur keabsahan oleh para ulama. Mereka sepakat bahwa penyaluran zakat ke selain depan asnaf tersebut hukumnya tidak sah.
Delapan orang tersebut adalah fakir, miskin, petugas zakat, muallaf, budak, orang yang terlilit utang, fi sabilillah atau orang yang sedang dalam jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan jauh yang bukan maksiat.
Apabila kiai dan guru dalam kasus diatas tingkat ekonominya masuk ke dalam kategori orang fakir atau miskin maka boleh menerima zakat sebagai orang fakir atau miskin.
Sedangkan apabila tidak masuk ke dalam kategori orang fakir atau miskin maka bisa menerima zakat atas golongan fi sabilillah.
Mengingat banyak ulama yang mengartikan sabilillah dengan pengertian yang lebih luas, tidak hanya bermakna pejuang di medan perang.
Sebagaimana penjelasan dalam kitab I’anah al- Ṭalibin, juz 2, halaman 265 berikut,
قَوْلُهُ فِي سَبِيلِ اللهِ) أَيَّ فِي الْجِهَادِ كَمَا هُوَ الْغَالِبُ فِي إِطْلَاقِهِ وَقَالَ ع ش يُمْكِنُ حَمْلُ سَبِيلِ اللهِ عَلَى الطَّرِيقِ الْمُوصِللِ إِلَيْهِ بِأَنْ يَخْلُصَ فِي صَوْمِهِ وَإِنَّ لَمْ يَكُنْ فِي جِهَادٍ وَهَذَا الْمُعَنَى يُطْلَقُ عَلَيْهِ سَبِيلُ اللهِ كَثِيرَا وَإِنَّ كَانَ خِلَاَفَ الْغَالِبِ
Artinya: