Puan Maharani Klaim UU Cipta Kerja Transparan, Sekjen DPR RI Akui Jumlah Naskah Terus Berubah-ubah

- 12 Oktober 2020, 22:56 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani.
Ketua DPR RI Puan Maharani. /JPNN


JURNALGAYA - Gelombang penolakan Omnibus Law Cipta Kerja terus berlanjut hingga saat ini. Aksi unjuk rasa terjadi hingga Senin 12 Oktober 2020.

Bahkan demo besar-besaran bakal terjadi Selasa 13 Oktober 2020 dengan tajuk Aksi 1310 Tolak Omnibus Law Cipta Kerja-Cilaka.

Selain aksi unjuk rasa, sebagian kelompok lainnya lebih memilih untuk mengajukan uji materi alias judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diantaranya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ulama) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara.

Ketua DPR, Puan Maharani mengaku bakal menghormati kelompok masyarakat jika ingin mengajukan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ke MK.

Baca Juga: Sentil Ridwan Kamil, Edy Rahmayadi Tolak Permintaan Buruh Karena Enggan Dibully Pemerintah Pusat

Namun, Puan menegaskan bahwa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu itu, mengutamakan kepentingan nasional.

“Apabila Undang-Undang ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan Undang-Undang tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Puan dalam pernyataan tertulisnya, Senin 12 Oktober 2020.

Puan mengklaim DPR sudah memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bersama pemerintah.

Pembahasan lima RUU yang telah diselesaikan DPR di dalam masa persidangan I tahun sidang 2020-2021, semuanya dilakukan secara terbuka dan transparan.

Baca Juga: Di Tengah Kengerian Rudal Balistik Antarbenua, Kim Jong-un Menangis Meminta Maaf kepada Rakyatnya

“RUU Cipta Kerja telah dapat diselesaikan oleh Pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang,” ujarnya.

Melalui UU Cipta Kerja, ekosistem berusaha di Indonesia diharapkan dapat terbangun lebih baik dan kemajuan Indonesia dapat terwujud lebih cepat.

“Melalui fungsi pengawasan, DPR akan terus mengevaluasi saat UU tersebut dilaksanakan dan akan memastikan bahwa Undang-Undang tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia,” pungkas Puan.

Baca Juga: Mengaku Takut Saksikan Valentino Rossi Terjatuh, Vinales Merasa Bersyukur Bisa Finis di Posisi Ke-10

Diklaim transparan, hingga saat ini naskah UU Cipta Kerja masih dipertanyakan oleh sejumlah elemen masyarakat. Bahkan jumlah halamannya pun cenderung berubah-ubah.

Draf final Undang-Undang Cipta Kerja sebelumnya memiliki 1035 halaman kini berkurang hingga menjadi 812 halaman.

Hal itu pun dibenarkan Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar. Disebutkan terjadi pemangkasan 223 halaman UU Cipta Kerja. Ia beralasan ada perubahan format kertas yang digunakan dalam Omnibus tersebut.

"Draf 812 halaman terakhir itu kan pakai format legal. Tadi (draf 1.035 halaman) pakai format A4 sekarang pakai format legal jadi 812 halaman," ujar Indra kepada wartawan.

Baca Juga: Karyakan Penyandang Disabilitas, Perajin Kaki Palsu Raup Rp20 Juta per Bulan

Mengenai perubahan substansi, Indra tidak ingin menjawab. Dia mengatakan, hanya akan bicara masalah administrasi dari UU Cipta Kerja.

"Jangan tanya saya, saya tidak mau ngomong substansi, saya hanya administrasi," kata Indra.

Hanya saja Indra memastikan, draf final UU Cipta Kerja ini belum dikirimkan ke Presiden Joko Widodo untuk diundangkan.

Terakhir, DPR menggelar rapat pleno untuk membahas draf final tersebut. Paling lambat DPR harus mengirimkan UU Cipta Kerja pada Rabu 14 Oktober 2020.

Indra sebelumnya memastikan draf Omnibus Law 1035 halaman merupakan naskah yang paling terakhir. Perubahan dari draf yang disahkan dalam rapat paripurna terjadi karena ada perubahan redaksional. Indra juga bilang subtansi tidak ada yang berubah.

Baca Juga: Bersedih di MotoGP Prancis, Yamaha Bakal Habis-habisan Mulai di Aragon

Sementara itu Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono mengatakan, sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) tak bisa diuji ke MK jika belum diundangkan. Termasuk untuk Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada 5 Oktober lalu.

"Untuk menjadi UU dan berlaku mengikat secara hukum, suatu RUU yang sudah disetujui bersama DPR dan presiden harus diundangkan," kata Fajar.

Fajar mengatakan, selama belum diundangkan maka aturan itu belum berlaku mengikat dan tidak memiliki implikasi apapun.

RUU yang disahkan juga belum mempunyai objek permohonan apabila digugat uji materi atau judicial review ke MK. "Kalau belum berlaku mengikat, maka belum ada implikasinya, belum ada yang dirugikan, dan pengajuan permohonan JR belum punya objek permohonan," ucapnya.***

Editor: Dini Yustiani

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x